Rabu, 25 Februari 2009
Resume Pemikiran Gayatri Spivak, dalam karyanya “Can the Sub Alter Speak ?”
Pada tahun 1985, Gayatri Spivak, perempuan India Profesor di Universitas Pittsburg mempbluikasikan tulisannya yang berjudul “ Can the Subaltern Speak ?, dalam tulisannya tersebut gayatri berbicara mengenai tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Gayatri Spivak mempertannyakan peran intelektual pascakolonial yang sering dikaitkan dengan masyarakat yang mengalami penindasan ataupun ketidakadilan yang merupakan kaum subaltern. SubAltern dalam defenisiGayatri Spivak adalah mereka-mereka yang mengalami penindasan, oleh karena itu dia mengakui kelompok-kelompok tersebut merupakan orang-orang yang tidak dapat berbicara
Gayatri Spivak mengecam dan juga memperingatkan kepada intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara-suara dari mereka yang terstindas atau subaltern tersebut. Menurut dia seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemapuan intelektual mereka untuk mencari perhatian dari kelompok-kelompok tersebut demi suatu tujuan pragmatis. Tindakan-tindakan intelektual tersebut bagi Gayatri Spivak justru bersifat kolonial sebab menurutnya hal tersebut menyamaratakan atau dalam istilah Gramsci menghegemoni keberagaman kelompok-kelompok yang tertindas atau subaltern tersebut.
Menurut gayatri Spivak, suara dari para kaum tertindas atau subaltern tersebut tidak akan bisa dicari, karena para kaum tertindas tersebut tiak bisa berbicara. Maka dari itu, dia mengatakan intelektual sebenarnya bukan untuk bertujuan tertentu atau pragmatis demi mencari perhatian kaum subaltern tetapi mereka harus hadir sebagai sebagai pendamping atau orang yang mewakili kelompok-kelompok yang tertindas tersebut. Oleh karena itu menurut gayatri Spivak, intelektual mesti lebih banyak bertindak secara nyata untuk memperjuangkan kelompok-kelompok tersebut daripada hanya berpikir atau berbicara melulu.
Resume Pemikiran Edward Said, Dalam Karyanya “ Orientalisme “
Dalam pandangannya tersebut Edward Said tidak menguraikan pemikirannya secara dogmatis dalam mengkritisi Islam-Arab dan The West, namun dia menguraikan pemikirannya tersebut seperti karya sastra. Dia juga mengekspos sifat-karaksteristik dan antagonistik antara budaya Islam-Arab dengan Barat. Sebagai seorang kelahiran Palestina, Edward Said menginginkan tanah kelahirannya tersebut menjadi suatu negara yang mandiri serta berdaulat, namun meskipun begitu dia tetap mengakui keberadaan negara Israel, oleh karena itu Edward Said banyak di kritik oleh dunia Arab khususnya dari kelompok Hamas.
Ada suatu hal yang menarik dari Edward Said yaitu dia mengkritik Barat tetapi tidak mengecam gerakan radikal Islamik Al-Qaeda. Hal itu dapat dimengerti karena menurutnya tak ada sesuatu yang “ terisolasi” di arena “ globalisasi”. Pengaruh-mempengaruhi, hegemoni pengaruh Islam Vs Barat maupun pengaruh Liberal Demokratis Barat (Occident) kepada negara-negara lemah (Orient). Sebenarnya pandangan dasar orientalisme yang ditulis Edward Said merupakan suatu ilmu dengan kepentingan untuk “menguasai” bangsa-bangsa diluar Barat hal ini bisa kita lihat secara nyata hegemoni dunia Barat di Timur, khususnya dalam penguasaan ekonomi serta menguras sumberdaya alam di Tmur namun tetap memberi stereotif kepada Timur sebagai negara-negara primitif. Pena orientalis seolah sama kedudukannya dengan serdadu, pedagang. dan pegawai pemerintah kolonial mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain yaitu bangsa-bangsa di Timur maupun negara-negara berkembang. Dalam karya orientalismenya tersebut, Edwar Said ingin menyatakan kepada dunia bahwa ada alternative yang lain, pihak ketiga yaitu : peradaban manusia non kekerasan, toleran, demokratik tertib sipil dari dunia ketiga.
Rabu, 20 Agustus 2008
Tan Malaka, Tokoh Kemerdekaan Yang Terabaikan...
Bila ditanya siapa saja tokoh kemerdekaan Indonesia, pasti muncul di dalam pikiran kita adalah Sukarno, M.Hatta, M.Yamin, ataupun sekelompok pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Wikana, Sayuti Melik dll, tanpa ada yang menyebut nama tokoh yang satu ini, yaitu Tan Malaka. Saya sendiri contohnya, selama saya duduk di bangku sekolah tak pernah sekalipun melihat namanya muncul dalam buku sejarah, namun setelah saya duduk di bangku kuliah baru saya mendengar sosok Tan Malaka dari teman ataupun membaca sekilas buku mengenai dia. Setelah saya membaca sekilas mengenai Tan Malaka, ada satu pertanyaan yang muncul dalam benak saya, yaitu mengapa tokoh besar seperti dia di lupakan ?, namun lambat laun saya pun mulai mendapat jawaban atas pertannyaan saya sendiri, ternyata Tan malaka adalah seorang Marxis-Leninis alias komunis !!!... yang merupakan musuh bebuyutan orde baru. Mungkin dengan alasan seperti itulah Tan Malaka harus di lenyapkan dalam buku sejarah Indonesia semasa orde baru yang lama berkuasa.
Tan Malaka merupakan tokoh yang pertama menulis gagasan berdirinya Republik Indonesia mendahului M.Hatta maupun Sukarno, melalui bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia ( menuju Republik Indonesia ) pada tahun 1925. Semasa hidupnya dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melanglang buana ke berbagai negara untuk suatu perjuangan, yaitu mencari dukungan kemerdekaan bagi Indonesia, oleh karena itu ia memiliki banyak nama samaran dan tak luput dari kejaran Intel Cina, Amerika Belanda dll serta beberapa kali mendekam di penjara. Ketika seputar proklamasi, Tan Malaka juga memiliki andil dalam menggerakkan massa dan para pemuda ke rapat raksasa di lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945, yang merupakan rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan.
Di dalam bidang pendidikan pun Tan Malaka sangat peduli ,terbukti setelah ia kembali belajar dari sekolah guru di Belanda, ia menjadi guru serta mendirikan sekolah rakyat bersama organisasi Sarekat Islam. Sekolah yang Ia dirikan di peruntukkan bagi anak kaum kuli, buruh kontrak yang merupakan golongan mayoritas. menurut dia pendidikan itu sangat penting sebab bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan. selain melakukan pergerakan di luar negri maupun di dalam negeri tan malaka juga penulis. Ada banyak sekali karya tulis yang dia hasilkan seperti karya tulisnya yang terkenal berjudul Madilog, Naar de Republiek Indonesia, maupun Massa Actie, yang telah banyak menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Sayuti Melik, Sukarno, Adam Malik, WR.Supratman dll.
Tan Malaka memang seorang Marxis tetapi dia juga seorang Nasionalis. Dalam kongres komunis Internasional di Moskow pada tahun 1922 Tan Malaka melawan arus, Ia mengatakan gerakan komunisme tidak akan berhasil mengusir kolonialisme, jika tidak bekerja sama dengan Pan Islamisme. Di kalangan partai komunis Indonesia Tan Malaka juga banyak bersebrangan, oleh karena itu ia di tuduh sebagai biang penyebab kegagalan pembrontakan. Sejak semula Tan Malaka tidak setuju melainkan berupaya mencegah rencana pembrontakan. Sebegai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudannya, Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pembrontakan di kesampingkan, salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang, masih di perlukan pembenahan organisasi partai, guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas.
Pada kabinet Sjahrir Tan Malaka pernah di penjara selama dua setengah tahun tanpa pengadilan. Tan Malaka juga pernah bersekukuh dengan Sukarno. Persekukuan Tan Malaka dengan Sukarno yaitu, Tan lebih mengedepankan gerilya ketimbang menyerah kepada penjajah. Bagi dia perundingan hanya bisa di lakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 % dari Belanda dan sekutu.
Itulah sedikit mengenai Profil Tan Malaka, hampir setiap kehidupannya dia lakukan untuk berjuang bagi kemerdekaan negara ini, tapi akhir dari hidupnya sungguh tragis !!!, dia harus gugur di tangan tentara negaranya sendiri karena unsur politik. Gelar pahlawan nasional yang pernah di berikan Sukarno kepada Tan Malaka hingga kini tak jelas dimana rimbannya, hingga kini sudah beberapa generasi melupakan Tan Malaka oleh karena suatu kekuasaan politik, padahal di Filipina sosok Tan Malaka begitu di hargai. Maka dari itu saya sangat mendukung dengan usulan yang muncul belakangan ini, agar nama Tan Malaka di pulihkan kembali, supaya generasi berikut mengenang dan menjadikan Tan Malaka sebagai inspirasi, karena begitu banyak yang bisa di ambil sebagai pembelajaran dari sosok dan perjuangannya
Senin, 11 Agustus 2008
PENCERMINAN TEORI SOSIAL DAN PRAKTEK POLITIK
Sekarang ini banyak sekali orang yang tampaknya ingin menguasai bidang praktek politik dan teori sosial. Contoh nya, seseorang hebat dengan teori-teori, oleh karena itu ia selalu mengecam kekurangan negara dengan teorinya tersebut namun tidak lama setelah itu dia mendapat jabatan di negara, teori yang pernah di kemukakannya tidak berjalan. Dia hanya banyak mendengarkan dari pada memenuhi tuntutan. Individu-individu yang sama yang sepenuhnya percaya pada apa yang mereka katakan dan tuliskan ketika mereka bergelut dengan teori-teori sosial akan berubah sikapnya manakala mereka sudah menduduki kursi kekuasaan. Dengan kata lain mereka secara mendadak bertemu dengan sejenis tekanan tertentu yang tidak pernah mereka jumpai di dalam teori sosial itu sendiri.
Hegel memiliki pandangan yang jelas terhadap hubungan teori sosial dan praktek politik. Ia dalam metodologinya mengajukan suatu pemikiran yaitu: para teorisi sosial tidaklah boleh menulis mendahului waktu ketika ia memikirkan makna kemajuan sejarah. Maksudnya “ apa yang masuk akal adalah yang nyata, dan apa yang nyata adalah yang masuk akal. “ . Menurut Ralf Dahrendorf, yang di maksudkan oleh Hegel adalah. Hegel mencoba mengatakan bahwa suatu yang di pikirkan pada suatu waktu mempunyai hubungan yang pasti dengan sesuatu kejadian yang terjadi pada saat itu. Teori dan praktek mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, sekalipun tidak bisa segera di buktikan.
Max Weber dalam pidato pentingnya pada tahun 1919, yang relevan dengan teori sosial dengan praktek politik yaitu “ Pengetahuan sebagai suatu profesi “ yang mengupas bahwa politik tidaklah berada di ruang kuliah dan kita harus lah membedakannya dengan jelas antara apa yang di kerjakan sarjana dan apa yang di kerjakan politikus. Ralf Dahrendorf mengartikan atau mengistilahkan upaya Weber untuk membedakan Ilmu Pengetahuan ( diistilahkan dengan “teori sosial”) dengan apa yang di sebutnya sebagai politik, tentu saja merupakan pernyataan tajam yang menegaskan bahwa tidak banyak penelitian ilmiah yang bisa membuktikan pembenaran nilai. Ralf dahrendorf mengatakan bahwa, betapapun rajanya kita meneliti dan membahas suatu kasus dalam kerangka penelitian ilmiah, tidaklah mungkin kita bisa memberikan alasan yang memadai untuk melakukan pembenaran terhadap suatu nilai. Dengan alasan itulah Weber ingin memisahkan pengetahuan pada satu pihak dan politik pada pihak lain.
Pada kuliah umum kedua tahun 1919 tentang “ Politik sebagai suatu profesi “, Max Weber membedakan antara “etika keyakinan” yang berkaitan dengan nilai-nilai absolut dan tidak mau menerima kompromi realita apapun dengan “etika tanggungjawab” yaitu pendekatan moral yang memiliki situasi khusus secara pragmatis, tanpa mengabaikan pertimbangan standar moral, tetapi yang pada saat yang sama tidak membiarkan di kuasainya tindakan politik seseorang. Ia mengatakan bahwa politik harus diatur oleh suatau etika tanggungjawab, karena ia di kendalikan oleh etika keyakinan, dan karenannya pula Ia akan bersipat tidak praktis. Jadi, berbeda dengan Hegel, Weber melihat kesenjangan antara teori sosial dengan praktek politik hampir bersipat mutlak. Jadi Weber tetap pada pendiriannya bahwa teori sosial dan praktek politik tidak bisa dengan cara apapun di baurkan, dia harus tetap pisah.
Oleh karena itu Ralf Dahrendorf membuat suatu kesimpulan bahwa tidak ada teori yang dapat menjembatani jurang antara teori sosial dengan praktek politik yang demikian memuaskan. Bersatunya teori dengan praktek dalam banyak hal hanyalah omong kosong belaka. Itu berarti teori hanyalah merupakan cermin politik praktis saja dan melulu merupakan sumber yang melahirkan keadaan ekonomi dan sosial yang ada. Ralf Dahrendorf juga mengatakan, keadaan sebagai sumber itu menimbulkan kekurangan pada teori, sebab menurutnya harus ada kemungkinan sikap antisipasi, kemungkinan pengembangan gambaran masa depan yang tidak hanya sekedar pencerminan keadaan sekarang. Oleh karena itu dia melihat dari cara pandang itulah mungkin ada terjadi kemunduran teori kalau berbicara tentang bersatunya teori dan praktek. Dan bila kita melihat dari sudut pandang lain dan berkata bahwa semua praktek politik sebenarnya juga berangkat dari suatu kerangka teoritis. Oleh karena itu Ralf Dahrendorf membuat kesimpulan lagi bahwa pada dasarnya merekalah yang menyebabkan praktek politik menjadi tidak efektif. dan dia juga mengatakan bahwa mereka mengabaikan realita praktek politik, tekanan-tekanan yang ada, lembaga-lembaga yang menghambat vtindakan, dan perlunya kekuasaan. Etika tanggung jawab memiliki tuntutan sendiri pada tindakan manusia, dan oleh karena itu bmengatakan bahwa hukuman tidak dapat melenyapkannya. dengan kata lain, tidak ada jembatan teoritis antara teori dan praktek, dan tidak dapat membohongi diri sendiri yang mengatakan bahwa jembatan itu ada.
Rabu, 06 Agustus 2008
MOTIVASI...
Selasa, 05 Agustus 2008
LAYAK KAH HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR ?
Di Negara ini korupsi sudah semacam lingkaran setan, tidak pernah selesai diatasi karena sifatnya yang seperti borok, semangkin di garuk semangkin gatal dan kemudian muncul borok-borok yang baru. Kasus korupsi yang di tangani KPK belakangan ini, tidak pernah mencapai titik terang, karena tak satu pun para tersangka koruptor yang mau mengakui perbuatannya. Seperti mereka anggota parlemen yang menerima dana setoran BLBI, kasus alih fungsi hutan bakau Tanjung Api-api, pengadaan kapal patroli, kasus alih fungsi hutan lindung di Riau hingga para jaksa yang menerima suap.
Di tengah maraknya kasus korupsi dan tidak pernah terselesaikan, berbagai argumen muncul yang mengatakan, perlunya ada wacana hukuman mati bagi koruptor untuk menekan tingkat korupsi di Negara ini. Namun ada pula argumen yang mengatakan agar para koruptor tidak perlu di hukum mati dengan alasan kemanusiaan dan HAM, sehingga hal ini menjadi kontroversi. Seorang ahli hukum dari UGM Denny Indrayana salah satu orang yang mendukung usulan perlunya hukuman mati bagi koruptor, mengatakan secara konstutisional itu tidak melanggar UUD. Secara hak asasi, tidak melanggar HAM. Secara hak Tuhan juga tidak, dia mengacu kepada agama yang dianutnya yaitu agama Islam yang mengatakan justru ada hukuman mati. Namun ada juga yang menolak usulan hukuman mati tersebut, yaitu seperti datangnya dari ketua LBH Jakarta Asfinawati, yang mengatakan bahwa hukuman mati tidak efektif sebab menurut dia masi ada solusi yang lain yang lebih manusiawi lagi.
AKANKAH KEHADIRAN PARTAI-PARTAI BARU DAPAT MEMBAWA PERUBAHAN YANG BAIK BAGI BANGSA ?....
Seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan, hampir seperti itulah apabila kita melihat makna keberadaan partai-partai baru sekarang. Menjelang pemilu 2009 ini KPU telah menetapkan sebanyak 34 partai politik yang lolos dan berhak berpartisipasi pada pemilu yang akan datang.
Apabila kita melihat ke-34 partai politik tersebut, akan tampak bagi kita bahwa partai-partai baru tersebut jumlahnya cukup banyak di banding partai-partai lama yang sudah eksis terlebih dahulu. Jika dilihat keberadaan partai yang baru tersebut memang tidak ada yang tampak keistimewaannya di banding partai-partai yang lama, contohnya dalam hal visi-misi, hampir semua paratai-partai baru tersebut, bertujuan memperbaiki nasib rakyat miskin yang merupakan golongan mayoritas di negri ini.
Pertannyaan muncul, knapa koq visi-misinya kelihatan hampir sama semua tujuannya ? Jawabanya yaitu karena pangsa pasarnya adalah masyarakat miskin, sebab masyarakat miskin adalah masyarakat yang sanyat banyak di negara ini atau masyarakat yang mayoritas. Menjelang pemilu hal yang lumrah kita ketahui bila masyarakat miskin menjadi perhatian dan isu utama oleh para elit politik,mereka akan dirangkul dan diangap sebagai saudara demi suatu tujuan dan dukungan untuk memenangkan pemilihan tersebut. Oleh karena itu, kehadiran partai – partai baru sebenarnya merupakan fenomena saja menjelang pemilu seperti ungkapan di atas, sebab tiap kali menjelang pemilu fenomena tersebut pasti ada, kecuali pada masa orde baru.
Namun ternyata keberadaan partai-partai baru tersebut tetap menjadi pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat akhir-akhir ini,apalagi banyak beredar isu-isu mengenai kehadiran partai politik yang baru tersebut, seperti ada isu yang mengatakan bahwa kehadiran partai-partai baru tersebut hanya taktis politis saja, karena beberapa orang dari pemimpin partai politik yang baru tersebut adalah elit politik yang lama, bahkan berasal dari partai-partai besar, sehingga muncul istilah “ partai baru stock lama “, yang kemungkinan juga akan bertarung dalam pemilihan Presiden mendatang, bahkan yang lebih ekstrim lagi isu tersebut mengatakan bahwa,orang yang merupakan calon presiden dari partai politik yang baru tersebut merupakan penjahat pelanggaran HAM yang tak pernah tersentuh oleh hukum.
Ada suatu hal yang menarik dan sempat mendapat kecaman dari pemerintah karena promosi yang dilakukan oleh salah satu elit politik yang berasal dari partai politik yang baru tersebut, yaitu memamfaatkan situasi dan kondisi ekonomi negara ini pasca kenaikan BBM kedalam wacana politiknya, dalam mempromosikan dan mempopularitaskan dirinya, yaitu elit politik tersebut menilai pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat dan telah gagal dalam melaksanakan fungsinya.
Namun itulah namanya politik, harus oportunity dalam mengambil perhatian masyarakat dengan memanfaatkan situasi, di tambah harus mantap beretorika, tidak peduli berapapun biaya yang telah di keluarkan asal tujuan si elit politik tersebut bisa tercapai dan popularitasnya naik, sebagai modal dalam ajang pemilihan Priseden mendatang.
Menanggapi judul diatas, akankah kehadiran partai-partai politik yang baru tersebut dapat membawa perubahan yang baik bagi bangsa ?, sebenarnya saya pribadi pesimis kalau partai-partai baru tersebut dapat membawa perubahan bagi bangsa, padahal kalau semangkin banyak partai seharusnya bisa menjadi stimulus dalam memunculkan persaingan yang positif, tapi kalau kita melihat sejarah, apakah itu pernah ?, tidak pernah !!!!!, yang pernah, bahkan selalu adalah rakyat yang menjadi korban dari keganasan partai-parta yang di gerakkan oleh elit-elit politik, baik itu partai lama maupun yang baru.
Jadi yang jelas kita semua tahu bahwa, kehadiran partai-partai politik yang baru tersebut adalah hal yang lumrah menjelang pemilu, dan memang tidak ada keistimewaannya meskipun partai tersebut partai baru, karena toh orang yang memimpin partai tersebut adalah orang lama yang mencari sensasi baru, jadi menurut saya perubahan yang baik itu sebenarnya berada pada masing-masing orang, apabila kita terprovokasi dengan isu-isu yang berbau agama, ras serta terlena dengan iklan-iklan elit politik di media, maka kita akan merasakan akibatnya setelah mereka kelak terpilih. Kita anggap saja keberadaan partai politik yang baru tersebut sebagai bentuk demokrasi di negara ini, dan yang terpenting kita harus jeli melihat atau pun memilih calon-calon yang yang akan di calonkan pada pemilu yang mendatang, dengan memilih mereka dengan melihat reputasi ataupun kredibel mereka seta tidak memilih mereka yang memiliki kasus pelanggaran HAM, karena semua perubahan yang baik itu ada di tangan kita, di tangan rakyat Indonesia.